“Evan, kau harus selamat. Berjanjilah kepadaku bahwa kau akan menikmati hidupmu setelah ini. Kau pantas untuk bahagia, Evan,” adalah kalimat terakhir yang ku ingat dari seseorang sebelum aku terbangun di sebuah rumah sakit.
Evander namaku. Tapi orang-orang biasa memanggilku Evan. Untuk siapa aku? Bagaimana aku bisa menjelaskannya ya. Aku adalah senjata perang tanpa perasaan. Aku hanya didesain untuk berperang, bertarung, dan membunuh. Aku tidak mengerti sama sekali apa itu emosi, dan apa itu perasaan. Kenapa seseorang tersenyum? Kenapa seseorang menangis? Aku tidak mengerti sama sekali.
Awalnya, aku berasal dari sebuah ruangan yang dingin dan jeruji besi menahanku untuk tidak keluar dari ruangan itu. Sangat dingin, dingin sekali. Tidak lama kemudian, dua orang membawa senjata api datang ke ruanganku. Mereka membuka jeruji besi yang ada di depanku dan membawaku. Aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya. Namun apapun yang terjadi, itu membuatku menjadi seperti sekarang. Seorang “senjata hidup” yang hanya tahu tentang membunuh orang lain.
Aku tidak ingat apa-apa hingga suatu hari, aku duduk di tengah puing-puing bangunan yang hancur. Apa yang terjadi? Aku tidak tahu sama sekali, atau mungkin lebih tepatnya aku tidak ingat apapun yang terjadi. Namun tidak lama kemudian, seseorang berseragam menghampiriku. Dari seragamnya, dia bukan tentara dari kubuku.
“Aduh, kasihannya,” ujar orang itu.
Aku hanya menatap orang itu tanpa bereaksi apapun. Sepertinya itu musuh. Dilihat dari puing-puing sekitarku yang hancur, dan tubuhku yang benar-benar kotor, sepertinya aku kalah. Aku hanya bisa menunggu orang itu menembak kepalaku atau apapun yang bisa mengakhiri nyawaku. Tapi tanpa aku sangka-sangka, orang itu malah memegang pundakku. Tangannya sangat hangat dan menyamankan. Aku belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.
“Ikutlah denganku! Aku akan merawatmu sehangat api unggun di dalam rumah yang nyaman walau badai salju mengamuk di sekitarmu,” ujar orang itu.
Dirawat sehangat api unggun? Apa itu? Aku tidak mengerti sama sekali. Tapi apapun itu, sepertinya dia berniat baik kepadaku. Setidaknya itu yang bisa aku ceritakan. Aku lupa apa yang terjadi setelahnya bahkan aku juga lupa dengan wajah orang itu. Aku juga sadar ada perban yang membalut kepalaku. Sepertinya luka yang ada di dalam perban ini yang membuatku lupa. Aku masih ingat beberapa hal tapi juga banyak hal yang kulupakan.
***
Kembali di rumah sakit. Aku mulai membuka mata dan melihat ke arah sekelilingku. Aku melihat beberapa orang yang sedang beristirahat. Beberapa ada yang kepalanya diperban, ada tangannya yang diperban, dan lain-lain. Tapi pasien di ruanganku tidak terlalu ramai. Masih ada banyak kasur kosong di sebelahku.
Aku mulai bangkit dari tidurku dan duduk di atas kasurku. Kepalaku diperban, begitu juga tangan kiriku. Tangan kiriku penuh dengan perban bahkan aku tidak bisa melihat kulit dari tangan kiriku. Aku mulai menyentuh dadaku dan sepertinya di dalam baju yang ku kenakan ada perban lagi yang menempel di dadaku. Cukup sakit saat aku sentuh.
Di sisi lain di tempat resepsionis rumah sakit, ada seseorang berseragam yang bertanya kepada suster yang berjaga.
“Permisi, saya jngin menemui seorang pasien,” ujar orang itu.
“Oh ingin menemui pasien ya. Pasien atas nama siapa?” tanya suster yang berjaga.
“Evander,” jawab orang itu.
Suster yang berjaga mulai membuka berkas dan mencari namaku.
“Ah, Tuan Evander ada di ruang 4-D kasur nomer 7,” ujar suster itu.
“Begitu ya, terima kasih ya.” Orang berseragam itu mulai meninggalkan resepsionis dan berjalan ke arah kamarku.
Ketika sampai di kamar, orang itu menemukanku yang sudah duduk di kasur.
“Oh Evan, kau sudah bangun,” seru orang itu.
Aku menoleh ke arah suara itu dan melihat Daniel, rekanku.
“Oh, Daniel,” sapaku.
“Apa kau sudah merasa baikkan?” tanyanya.
“Lumayan,” jawabku.
“Berhubung kau sudah bangun, aku ingin memberikan kabar baik,” ujarnya.
“Kabar baik? Apa itu?” tanyaku.
“Perang sudah selesai,” jawabnya.
“Oh, perang sudah selesai ya,” responku dengan dingin.
“Yup, betul sekali. Oh ya dan satu lagi. Kolonel Oliver uh atau mungkin bisa kubilang mantan Kolonel Oliver memintamu untuk datang ke tempatnya,” lanjut Daniel.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Dia ingin mengobrol denganmu,” jawab Daniel.
“Apa ini perintah dari Pak Oliver?” tanyaku.
Daniel terdiam sebentar sebelum akhirnya dia menjawabku, “Ya, ini perintah darinya.”
Kau sepertinya masih Evan yang sama. Seorang Evan yang hanya bergerak sesuai dengan perintah seorang atasan. Kuharap kau bisa segera berubah. Menjadi seorang manusia berperasaan yang memiliki keinginan sendiri, sama seperti harapan-“nya” (Daniel)
“Jadi, apa kita bisa berangkat sekarang?” tanya Daniel.
“Baik, aku akan bersiap-siap terlebih dahulu,” ujarku.
“Tidak usah terburu-buru,” ujar Daniel.
Aku mulai menurunkan kakiku dan mencoba untuk berdiri. Daniel pun langsung memegangi.
“Oh ya aku hampir lupa. Apa kau bisa berdiri? Tidak usah memaksakan diri,” ujarnya kepadaku sembari memegangi tanganku.
“Tidak apa-apa. Aku kuat berdiri,” ujarku.
Aku tidak sengaja melihat segelas berisi penuh dengan air di meja sebelah kasurku. Dipikir-pikir lagi, sepertinya aku haus. Aku mulai mencoba mengambil gelas itu. Sebelum aku mengambil gelas itu, aku sedikit terkejut setelah melihat sebuah cincin yang menghiasi jari manis tangan kananku. Sejak kapan aku memiliki cincin ini?